Gelora Semangat dalam Keterbatasan

Tiada ulasan
Sabtu 19 Februari 2011, aku dan teman-teman bermaksud silaturahmi ke rumah salah satu Ustadzah di luar kota. Kami ingin mendapat arahan dan bimbingan juga kisah pengalaman beliau. Dalam perjalanan itu, kami ditemani seorang saudari muslimah dari kota yang kami tuju. Ia datang bersama seorang muslimah yang saya ketahui bernama Nafisah.
Nah, dari Nafisah inilah saya merasakan perjalanan kali ini mendapatkan double manfaat, tausiyah dari ustadzah dan kisah hidup Nafisah yang amat luar biasa.
semangat dalam keterbatasan
 Nafisah adalah seorang tunarungu. Nikmat pendengaran itu tak ia dapatkan sejak kecil hingga nikmat bicara pun tak sepenuhnya ia kuasai. Ia bicara dengan bahasa isyarat. Ternyata saudari muslimah tadi adalah karibnya yang juga memahami bahasa insyarat. Dialah yang menerjemahkan isyarat nafisah kepada kami dan bahasa kami kepada Nafisah.
Dengan segala keterbatasanya, terlihat Nafisah adalah sosok yang luar bisasa. Dia sangat ingin membicarakan, bercerita, mendiskusikan, dan menanyakan berbagai macam hal. Meski untuk itu kami harus bersabar menunggu terjemahanya. Karena untuk bicara dia harus menjaga satu persatu kata-kata yang diucapkan dengan satangat lamban.
Dari ceritanya, dia berasal dari keluarga Katolik. Ia masuk Islam pada 2006. Meski mendapat penentangan dari orangtua, hatinya tetap teguh pada pilihanya. Lebih dari itu, ia juga berniat untuk memakai jilbab. Pada awal masuk Islam dia sudah berjilbab meski kecil. Bayangkan, banyak di antara saudara kita yang sudah berislam puluhan tahun, tapi kesadaran memakai jilbab belum juga muncul. Dan pada 2007, akhirnya dia bulatkan tekad untuk memakai jilbab dan jubah. Kemudian Allah berikan dengan membuka hati keluarganya untuk membiarkanya menjadi muslimah seperti yang dimauinya. Kini dia tak hanya berjubah dan berjilbab tapi juga memakai cadar. Subhanallah.
Sesampaianya di tempat ustadzah, kami berdiskusi panjang dan banyak mendapatkan tausiyah dari ustadzah. Namun, karena Nafisah tidak bisa mendengar apa yang disampaikan oleh ustadzah, maka ia dan kawan kami tadi duduk di paling pinggir dan sibuk memainkan jari-jari mereka. Sesekali Nafisah tertarik dan bertanya kepada ustadzah dengan dibantu temanya menerjemahkan isyarat Nafisah kepada ustadzah. Ternyata teman kami yang menerjemahkan kata-kata Nafisah tadi juga belajar bahasa isyarat juga dari Nafisah.
Ustadzah memberikan kesempatan dan mempersilahkan yang lain yang belum bertanya untuk gantian bertanya jika ada yang mau ditanyakan. Beberapa detik kami terdiam, suasana jadi sepi. Tapi tak ada juga yang gantian bertanya, Subhanallah. Ustadzah akhirnya bilang: Nafisah yang tidak bisa bicara ingin sekali bicara, kenapa yang bisa bicara tidak bicara sebanyak-banyaknya? Harusnya yang bisa bicara ini bicara yang sebanyak-banyaknya, tidak apa bicara sebanyak-banyaknya jika bicara kebaikan, siapa tahu besok saya dipanggil Allah dan kita tak bisa bertemu lagi. Ucapan ustadzah secara menusuk hati kami.
Kami juga banyak mendengar kisah dari Nafisah. Salah satunya saat dia ingin membuat KTP. Ia bercerita, saat ingin mengganti KTP, pegawai pemerintah tidak berkenan memberikan ijin karena ternyata di kartu keluarganya semua anggotanya beragama Katolik. Nafisah sedih. Lalu, dia pun pergi ke masjid dan menyatakan Islamnya. Dihadapan beberapa orang dia bersyahadat dengan keras namun terbata-bata. Ia pun mendapat surat keterangan Islam dan diijinkan membuat KTP.
Nifisah juga mengungkapkan keinginanya untuk belajar tahsin al Quran dan menghafal. Namun karena pengajaran untuk membaca dan tahfidz al Quran untuk tuna rungu metodenya berbeda dan belum banyak yang menguasainya, keinginan Nafisah belum dapat diwujudkan. Benar-benar luar biasa. Padahal kita yang sudah sejah lama bisa membaca al Quran saja, sangat lemah semangat dan keinginanya untuk menanam kalam ilahi itu dalam lahan luas di otak kita.
Diakhir kesempatan sebelum kami pamit pulang kami minta ustadzah memberikan pesan sebelum kami pulang. Intinya beliau menasehatkan agar istiqomah. Tugas-tugas dakwah yang kita lakukan hari ini barangkali hasilnya belum tampak, tapi yakinlah bahwa semua itu tidak akan sia-sia. Bergeraklah seluas mungkin. Keluarga, anak, suami, dan siapapun sebenarnya bukanlah penghalang, kitalah yang sering menghalangi diri kita dengan ketiadaan tekad dan keinginan.
Masa muda adalah masa aktif, masa dimana kita harus banyak bergerak. Jika tak bergerak kita akan mati, atau sama dengan orang mati. Selagi masih bisa bergarak, tingkatkan dan perbarui gerakan-gerakan itu untuk bisa menghasilkan sesuatu yang berharga dalam hidup kita. Menjadikannya lebih bermakna.
Aku mencatat baik-baik pesan Ustadzah. Bahkan salah satu dari kami ada yang menitikkan airmata. Nasihat-nasihat yang mengharukan ini semoga benar-benar meresap dihati kami dan semakin membuat kami lebih baik dari hari ke hari. Sungguh kenangan hari ini, silaturahmi kepada ustadzah dan bertemunya kami dengan Ukhty Nafisah adalah pertemuan yang luar biasa yang semoga kisah ini akan menguatkan langkah kaki kami ketika kami mulai dilanda lemah dan sepi. Semoga kisah ini bisa diambil hikmah dan pelajaranya.

Sumber : majalah ar-risalah : (syukur bertambah nikmat melimpak) oleh : Dian Kurniawati, Yogyakarta

Tiada ulasan :

Catat Ulasan